Pages

Monday, April 28, 2008

Very Inspiring Article

Jika Anda Batak, Katakan Pada Anak Anda Dia Batak


Children should be encouraged to take pride in their ethnic heritage, thereby boosting self-esteem.” (DeHart, Sroufe, & Cooper, Child development: Its nature and course. Boston: McGraw Hill, 2000). “Anak-anak harus didorong untuk bangga pada asal-usul etnis mereka sehingga mendongkrak rasa bangga dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri

Weekend lalu saya diperkenalkan si Bungsu adik saya pada teman barunya. Si Bungsu ini “anak gaul” sehingga kerap membawa teman baru ke rumah. Biasanya si Bungsu akan memperkenalkan nama temannya dan saya akan melanjutkannya dengan pertanyaan-pertanyaan standard seperti “tinggal dimana”, “sekolah dimana”, “kenal si bungsu dimana?”, “ayah ibu kerja dimana” dll. Kadang pertanyaan-pertanyaan itu saya akhiri dengan pertanyaan dari mana dia berasal. Teman baru si Bungsu yang usianya tidak lebih dari 20-21 tahun ini misalnya, karena wajahnya yang Ganteng, bulu matanya luar biasa bagus, kulit bersih dan tubuh atletis, saya jadi ingin tahu dari mana dia berasal.

Kamu orang apa sih, Dek?”, tanya saya ingin tahu.

Orang Jakarta, Kak”, katanya.

Kita semua orang Jakarta karena kita tinggal atau lahir di Jakarta. Maksud Kakak, kamu berasal dari suku apa”, lanjut saya.

ohhhh”, katanya seolah baru sadar salah menjawab. Saya yakin dia sebenarnya mengerti maksud saya. “Orang Sumatra, Kak”, jawab si ganteng. Saya mulai agak hilang kesabaran.

Dek, kamu tidak belajar pengantar Antropologi waktu semester satu yah? Kan Sumatra itu bukan suku bangsa, jadi enggak ada istilah saya orang Sumatra. Kok susah amat kau menjawab pertanyaan Kakak? Kamu nih ganteng dan oon yah”, lanjut saya. Si Ganteng tertawa.

Orang Medan deh, Kak”, ralatnya, gelisah. Mukanya agak bingung atau pura-pura bingung.

Si Bungsu yang tahu betul maksud saya langsung menimpali dengan wajah tidak sabar: “Lu ngomong sama Kakak gue yang bener, bilang aja lo orang Batak gitu, susah amat sih guoblog lo…. Dia ini Siregar, Kak, gak ngaku Batak! Ibunya Batak, juga, Simanjuntak.” “Waktu ketemu pertama kali juga ‘gitu’ Kak, bertele-tele waktu ditanya orang apa”, lanjut si Bungsu. “Mandi masih pake air asin, tinggal di gang sempit aja udah gak ngaku orang Batak lu..!”, lanjut si Bungsu berseloroh. Mereka terbahak. Semoga si Ganteng belajar sedikit hari itu mengenai siapa dia.

Saya bangga pada si Bungsu karena diusianya yang muda ia tidak pernah ragu mengatakan “Saya orang Batak”. Si Bungsu adalah tipikal remaja metropolitan “produk MTV” yang selalu kami khawatirkan agak menganut faham hedonis dan sangat ter-westernisasi. Sejak usia 5 tahun dia sudah ‘ngerti’ apa itu “luar negri”.

Saya juga bangga pada ayah saya yang sebagian hidupnya dihabiskan di Semarang, dan sampai akhir hidupnya selalu membaca karya-karya sastra cukup tinggi dari Rendra, Sapardi Joko Damono, hingga Ernest Hemingway itu, tetapi ia tetap mengajarkan anak-anaknya untuk bangga pada asal-usul kami. “Never be ashamed to tell people who you are. You are orang Batak”, demikian ayah saya yang berbahasa Inggris, Belanda dan Jawa itu selalu mengatakan.

Pengajaran ayah saya itu menanamkan concious saya untuk tidak pernah ragu mengatakan “saya orang Batak” ketika asal-usul saya ditanyakan dimanapun saya berada, di Danau Toba yang keras, di Yogja yang lunak maupun di Paris, London atau New York yang sophisticated, ketika saya bertemu dengan orang Indonesia disana. Bahkan ketika saya sudah menyebut diri saya sebagai “a global citizen”. “Saya Orang Batak”. Clear! Tanpa embel-embel “tapi saya lama tinggal di Singapore”, atau “tapi saya sudah tidak bisa bahasa Batak”, atau “ tetapi saya lahir di Jakarta” atau “tapi saya orang Mandailing”. Kata “tetapi” itu adalah satu dari seribu excuses yang dipakai oleh banyak orang Batak untuk mengatakan bahwa ia berbeda dari stereotypetetapi saya sudah berbudaya, sudah tidak ‘barbaric’. Saya sudah tidak makan orang lagi!”. orang Batak yang terbentuk di masyarakat. Kira-kira artinya adalah “

Menjadi orang Batak berarti terperangkap dalam konotasi negatif stereotype yang terbentuk lewat penggambaran karakter yang kasar, keras, tempered, agresif, tukang-berantem, nyali preman, gaya bicara teriak-teriak, volume suara keras, belum lagi stereotype fisik rahang bersegi, mata tajam, tubuh lebih sering tebal dan profesi yang dihubungkan dengan pencopet, supir metromini ugal-ugalan, preman, petinju kasar, pecatur suntuk, inang-inang pedagang Pasar Inpres Senen, atau penyelundup Tanjung Periuk.

Konotasi negatif inilah yang sering kali membuat banyak keluarga Batak tanpa sengaja tidak menanamkan “rasa bangga” akan asal-usul mereka pada anak-anak mereka seperti si Ganteng teman adik saya tadi, yang jelas sekali sangat berat mengatakan “saya orang Batak”, dan berkilah mengatakan dirinya “Orang Jakarta”, “orang Sumatra” dan “orang Medan”. Konotasi negatif itu juga sering membuat Orang Batak bangga jika dikatakan “tidak kelihatan Batak”, “tidak kentara Bataknya”, apa lagi kalau sudah agak “kaya” sedikit atau kenal luar negeri, sudah tidak mau terafiliasi dengan apapun yang berbau Batak. Kalau bisa jangan ‘ngaku’ orang batak. Seorang artis berdarah batak malah mendapatkan nama ”Cut “ dari ayahnya untuk menggelapkan asal-usulnya. Menyedihkan!

Konotasi negatif di atas tidak akan pernah hilang jika setiap keluarga Batak memilih untuk menanggalkan identitas anak-anak mereka, menghilangkan marga mereka dari nama-nama mereka, “menggelapkan” asal-usul mereka dengan istilah “orang Medan”, “orang Sumatra” atau “orang Jakarta” (dia pikir cuma dia yang lahir di Jakarta), serta tidak memberikan pengajaran betapa pentingnya mengenal akar dan asal-usul budaya sendiri sebelum mampu mengenal dan mencintai budaya-budaya lain, bahkan sebelum mampu menikmati Beethoven Symphony No 9. Jadi jangan bilang anda penikmat budaya jika asal-usul suku bangsa andapun tidak anda akui.

Menanamkan kebanggaan atas asal-usul pada anak-anak kita itu bukan untuk tujuan pengkultusan superioritas kesukuan atau ethnocentrism, akan tetapi penghargaan terhadap budaya, etnik, identitas dan asal-usul itu. Kebanggaan dan penghargaan itu akan memberikan “sense of belonging” atas kelanjutan sebuah nilai budaya yang menjadi pondasi untuk membangun diri sendiri. Kelak tentunya membangun lingkungan dimana dia berada.

Red Wolf seorang pejuang dan budayawan Indian, Native American dalam beberapa bukunya mengatakan: “The Native Indian passed their culture and tradition down from generation to generation from memory, not from a notepad or book. Therefore, if your Mother, Grandmother, Father or Grandfather told you or your family that you are of Indian blood, you are Indian”. Saya terpesona dengan tulisannya itu. Katanya: “ Orang Indian mewariskan budaya dan tradisi mereka dari generasi ke generasi lewat ingatan, bukan lewat catatan dan buku, jadi jika ibu, nenek, ayah atau kakekmu mengatakan bahwa engkau berdarah Indian, maka engkau adalah Indian”.

Saya implementasikan dengan bebas kalimat di atas ke dalam tulisan saya ini sebagai: “Jika engkau orang Batak, katakan pada anak-anakmu bahwa mereka adalah orang Batak”.


Honourly taken from : Tika Sinaga
http://blog.360.yahoo.com/blog-0kb4Q7Qlcq36EgLyeJr0.fJR?p=12

"Lg browsing2, saya ktemu artikel ini. Dan saya langsung ngefans berat sama penulisnya. And I'm speechless... Bravo!!!"

Friday, April 18, 2008

Song of the Year

Emmy Rossum "Slow me Down"





















Rushing and racing
and running in circles
Moving so fast, I'm forgetting my purpose
Blur of the traffic is sending me spinning
Getting nowhere

My head and my heart are colliding, chaotic
Pace of the world
I just wish I could stop it
Try to appear like I've got it together
I'm falling apart

Save me
Somebody take my hand, and lead me
Slow me down
Don't let love pass me by
Just show me how
'Cause I'm ready to fall
Slow me down
Don't let me live a lie
Before my life flys by
I need you to slow me down

Sometimes I fear that I might dissapear
In the blur of fast forward I faulter again
Forgetting to breathe, I need to sleep
I'm getting nowhere

All that I've missed I see in the reflection
Passed me while I wasn't paying attention
Tired of rushing, racing and running
I'm falling apart

Tell me
Oh won't you take my hand and lead me
Slow me down
Don't let love pass me by
Just show me how
'Cause I'm ready to fall
Slow me down
Don't let me live a lie
Before my life flys by
I need you to slow me down

Just show me
I need you to slow me down

The noise of the world is getting me caught up
Chasing the clock and I wish I could stop it
Just need to breathe, somebody please
Slow me down


Thursday, April 17, 2008

Cantik.

Saya lagi blokwalking designer's blog, seperti biasa untuk liat-liat apa yang baru. Trus tiba-tiba saya nemu image ruangan bertema Morokko ini. Lucu bgt!!! It's absolutely "me".....
I like the way they arrange the Morrocan elements then creating a very stunning yet exotic combination..
Fyi, the lamps and the room aren't from the same source. I took the room from a designer's blog called http://blogs.nypost.com/, meanwhile the lamps are from a n Indonesian decorator's website who lives in United States. But I still thought it suits the interior's theme.

Ok... Imajinasi mulai bermain... Sore menjelang senja ditepi pantai.. Ditemenin alunan musik Jazz (wah, agak ga nyambung dengan tema ruangan sih, but it still nice anyway =P), segelas fruitpunch, sebuah novel, ready set gooo.... a journey to a fairytale....

Wednesday, April 16, 2008

Whatta dream...

Last night I had a strange dream..
Klo dijadiin film, mungkin mimpi ini masuk kategori film bergenre suspense.. thriller gt...lil bit horror. Jd saya sama seorang tmen sma (sex:male) lagi ada di sebuah hotel tua di out of nowhere I can't describe it. Ntah gmn caranya kita nyampe di tempat itu. Hotel itu bergaya interior art noveau sedikit art deco (ok analisis interior designer dimulai) dengan ambience
suram, mostly yellow light, lampu2 redup, dengan motif wallpaper dari tahun 40-an (I guess). Lift nya lift yg sering difilm-film hollywood mafia-mafiaan, yang besi-besi n keliatan dalemnya gt...

Jadi critanya kita lg jalan-jalan dikoridor. Trus tmenku blg barangnya ketinggalan, jd mau ngambil lg kekamar. Aku disuru nunggu di koridor. Dipencet lah tombol lift yang 'up' sm dia. Tpi orang2 sesama pengunjung hotel blg, "mas, klo naek lift ini hati2 ya. Ada yg bisa gak kembali lg lho". Spontan aku protes donk. Nyuruh dia batalin ambil barangnya. Tp dia ngotot, "klo gak
diambil repot, aku udah janji mau ngasiin k orang" katanya. Ya sudah aku mengalah, dengan catatan dia balik ke lantai tempat kta pisah. ya udah aku nunggu. Selang beberapa menit dy balik. Trnyata evrything's fine. Dengan muka curiga aku jalan lg sama dia. Dianya sih nyantai2 aja. ...... (cerita terpotong, klo dlm film ibaratnya ganti scene,dengan sedikit sensor).

Tiba2 kita udah ada di bar hotel yang sangat kolonial. dan di depan kita ada seorang gubernur jendral Inggris dr jaman penjajahan di India!!!! My gosh, seorang gubernur jendral dr zaman kolonial.... is it real or not, I don't care anymore.... N u know what we're talking about?
"Pak Gubernur Jendral, (in English, of course)... Saya pengen tau, bisa tolong dijelasin gak sama saya. Kok bisa Inggris menjajah ditunggu dulu, dipersiapkan dengan baik2 dulu semuanya, dengan cara diplomatis, klo negara calon jajahannya keliatan kurang welcome, dibangun fasilitas dulu disana, baru dicerdaskan. Sedangkan Belanda sebaliknya?"Lalu dia mulai mengambil cerutunya, menghisapnya dengan santai (gaya mafia tentunya), lalu berkata
"Yah, gitulah... Inggris, gitulah Belanda..."

Damn it... pasti gara2 ngerjain DI Hotel Kolonial semalam suntuk!!

Why good people are poor?

That question running through my mind a couple times. Today I meet a man who works at a minimarket near my home. He deliveres mineral waters. And I must say, he definitely had this manner. Touching my heart, honestly. bagaimana dia menyapa dengan ramah dan sopan, sebagai seorang pengantar air minum, bagaimana dia permisi, dengan ramahnya dia tersenyum, seolah-olah harinya berjalan dengan ga ada masalah sama sekali. And again I say... He's touching my heart. Berapa sih upahnya sebagai seorang karyawan mini market? Belum lg klo dia harus biayain keluarganya... Istri, anak, dsb.. Well, it's not really a nice life, you know. People like this, I meet many of them, this past 3 years of my life, they really work with their heart.

Why... dengan sopan santun dan keramahan itu...mereka stay begitu-begitu saja?
Just livin their life like that day by day.. Dan hal-hal kayak gini nih yg bikin hari saya ngga tenang. Karena ketemu sama org2 kyk begini bisa bikin saya kepikiran terus, wondering hidup seperti apa sih yang mereka jalani.. Alam pikiran saya suka berimajinasi sendiri... Keluar deh sisi melankolis itu... Karena menurut saya karakter sopan santun itu mental orang sukses, karena datang dari hati. dan ironisnya banyak orang-orang dengan status sosial dan ekonomi yang jauh diatas mereka, supposed had that, tapi ngga milikin karakter itu. So sad...

Well, sepertinya hari ini Jessica harus ngomong sama dirinya sendiri...
Calm down, Jessica. God is good all the time. Tuhan itu adil. Ada masanya buat setiap kejadian, dan mungkin kejadian-kejadian yang kamu liat dan alamin itu, harus terjadi, supaya kamu n org lain punya bahan yang cukup bagus untuk direnungin... There's a reason for every situation. And, yea... God is good.
I captured this moment when Monik, Elsa and I spend our Saturday morning at Old Batavia.
That old man, I bet he was handsome when he was younger, nod to me and smile - weakly - when I ask his permit to take a pic of him...